Obat Tradisionals Ampuh dan Aman

  • Latest News

    Diberdayakan oleh Blogger.
    Selasa, 06 Februari 2018

    Perang Narkoba di Asia Tenggara

    War on drugs/REUTERS
    PISTOL revolver terlepas dari tangan seorang tersangka pengedar narkoba yang ditembak polisi di Manila, Filipina, 17 Agustus 2017. Tahun lalu, Filipina menerapkan kebijakan "maut" dalam memerangi narkoba.


    BANYAK negara, termasuk para negara tetangga Filipina telah mencoba melakukan pendekatan yang kejam. Namun, taktik-taktik seperti itu terbukti tidak berhasil mengatasi akar permasalahan penggunaan dan penjualan narkoba. Kemiskinan dan berbagai manifestasinya adalah masalah yang jarus ditangani, bukan ditembaki.” Demikian bunyi pernyataan dari Amnesti Internasional.

    “Sebagian besar dari produksi metamfetamina di Asia Timur dan Asia Tenggara memenuhi permintaan dari wilayah itu, tetapi jumlah yang besar juga diperdagangkan ke belahan dunia lainnya terutama Australia, Selandia Baru, dan Jepang,” kata Jeremy Douglas, Perwakilan Wilayah PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) ketika menyampaikan pendapatnya terkait perlunya membangun dan memelihara kemitraan yang kolaboratif. 

    “Jaringan perdagangan narkoba internasional yang kompleks secara aktif meningkat di wilayah Asia karena pasarnya yang berkembang dan menguntungkan,” katanya lagi. 

    Segitiga Emas Narkoba
    Dua pernyatan itu menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu daerah tersibuk dalam perdagangan narkoba seperti dilaporkan The Independent.

    Thailand, Myanmar, dan Laos merupakan sentralnya. Daerah itu dikenal dengan sebutan The Golden Triangle atau Segitiga Emas. 

    Menurut laporan PBB pada Desember 2014, produksi opium di daerah tersebut telah naik tiga kali lipat sejak 2006 dengan jumlah 762 ton opium pada 2014 yang kemudian dibuat menjadi 76 ton heroin. Jumlah perdagangan obat-obatan terlarang di Segitiga Emas tersebut mencapai 16,3 miliar dolar.


    “Survei terhadap para petani setempat mengindikasikan bahwa banyak dari mereka memakai uang yang dihasilkan dari penanaman opium untuk kebutuhan keluarga,” ujar Yury Fedetov, Direktur Eksektuif UNODC. 

    Buktinya, pada 2014, keluarga pada umumnya yang tidak menanam opium di Myanmar mendapatkan penghasilan sekitar 1.730 dolar. Sementara keluarga yang memilih menanam opium mendapatkan penghasilan 15 persen lebih besar, yaitu 2.040 dolar. Demikian diwartakan Vice. 

    “Sampai keluarga tersebut bisa mendapat peluang yang lebih besar, mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berpindah dari bidang pekerjaan itu,” ujar Douglas.

    Narkoba dan sekolah
    Selain menjadi salah satu produsen terbesar narkoba, beberapa negara di Asia Tenggara juga mempunyai masalah yang serius mengenai pemakaian narkoba. 

    Al-Jazeera menyebut, pada survei tahun 2015 yang dilakukan The Dangerous Drugs Board, ditemukan bahwa 1,8 juta orang Filipina memakai narkoba. Namun sang presiden, Rodrigo Duterte, menyatakan terdapat 3 juta pecandu narkoba di negaranya sesuai data dari Philippines Drug Enforcement Agency. 

    “Lapangan pekerjaan dan sumber daya sosial yang ada tidaklah cukup, maka dari itu, semua orang membutuhkan pekerjaan kedua,” ujar Clarke Jones, professor dari Australian National University seperti diberitakan Los Angeles Times terkait kenapa orang-orang nekat terjun ke dalam bisnis narkoba.

    “Duterte mungkin sedang berusaha memberantas pasar narkoba–yang tidak akan pernah terjadi–namun dia gagal memperhatikan apa yang akan menggantikan bisnis tersebut,” kata Clarke Jones.


    Dua permasalahan yang mendorong keberadaan pasar narkoba di Filipina adalah kemiskinan dan korupsi. Tengok saja pernyataan seorang pelajar di Filipina, Christian Nilo ini.

    “Saya dihadapkan kepada pilihan membeli obat untuk ayah saya dan lulus dari kelas saya. Saya memilih untuk membeli obat untuk ayah saya,” ujarnya.

    Keputusan itu membuat dia tak lulus dari sekolahnya karena dia tak mampu membeli berbagai kebutuhan di sekolah.

    Di sekolahnya, para guru dan siswa menjelaskan keadaan sulit mereka yang mencitrakan seberapa kuatnya jerat untuk terjun di bisnis perdagangan narkoba. 

    DTess Busadre, kepala departemen studi sosial di Filipina menyatakan bahwa anggaran sekolah sebagian besar digunakan untuk listrik, air, dan kebutuhan dasar lainnya. 

    Alhasil, gaji yang hanya bernilai 4.500 dolar per tahun hampir tidak cukup untuk menutupi biaya hidup. Para guru pun lantas menjual materi-materi pelajaran kepada para muridnya hguna menambal biaya hidup.

    “Salah satu alasan mengapa banyak siswa yang putus sekolah atau siwa yang bermasalah adalah karena mereka tidak dapat membayar biaya untuk tugas-tugas yang mereka harus kumpulkan,” ujar Busadre.

    Indonesia pasar terbesar
    Indonesia Investments melaporkan, jumlah pengguna narkoba eksperimental di Indonesia meningkat dari 850.000 tahun 2008 menjadi 1,1 juta tahun 2011, dan 1,2 juta tahun 2016. 

    Bahkan menurut statistik Gerakan Anti Narkoba Nasional, diperkirakan ada 1,3 juta orang di Indonesia yang berumur 10 sampai 19 tahun telah bersinggungan dengan narkoba. 

    “Terkadang, para pengedar memberikan narkoba kepada anak-anak muda secara gratis. Sebagian besar pemuda Indonesia dapat membeli heroin seharga Rp 5.000 per dosis ketika para pengedar ingin membuat mereka tertarik dengan produk mereka. 


    “Hal itu merupakan bahaya besar bagi generasi muda Indonesia. Hal itu menghancurkan otak para pemuda dan bagaimana efektivitas kita menghadapi isu itu bergantung kepada pemerintah kita,” ujar psikolog anak Seto Mulyadi. 

    Menurutnya, tekanan yang diberikan para orangtua dan guru terhadap anak-anak di Indonesia menjadi salah satu alasan utama mengapa mereka mendekati narkoba. 

    “Tekanan yang ada sering kali terlalu besar dan narkoba digunakan sebagai pelarian yang hanya merupakan awal (dari permasalahan),” kata Seto Mulyadi.

    Sementara itu, Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional Kombes Sulistiandriatmoko menyatakan kepada bahwa terdapat hampir enam juta pengguna narkoba di Indonesia. Angka itu meningkat dari survei tahun 2014 dengan angka 4,1 juta pengguna narkoba. Hal itu diungkap media yang berbasis di Tiongkok, South China Morning Post.

    “Dengan angka pengguna yang besar dan permintaan yang tinggi, sekarang Indonesia adalah pasar narkoba terbesar di Asia dan menarik pengedar lokal serta asing,” kata Sulistiandriatmoko. 

    ”Indonesia adalah negara sumber, transit, dan tujuan dalam perdagangan metamfetamina,” ujar Collie F Brown, Manajer UNODC untuk Indonesia. 

    Tembak mereka!
    Sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, ASEAN mengakui kedaulatan setiap negara dalam menentukan pendekatan yang paling pantas untuk menangani masalah narkoba di masing-masing negara. 

    Akan tetapi, ASEAN juga kembali menyatakan komitmennya dalam memberantas narkoba di wilayah tersebut. 

    Negara-negara di Asia Tenggara mempunyai kebijakannya sendiri dalam menangani masalah narkoba di negaranya. Rodrigo Duterte selaku Presiden Filipina telah mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai ”War on Drugs atau Perang terhadap Narkoba. 



    Pernyataan perang Rodrigo Duterte terbukti dilakukan. Selama 14 bulan, 12.000 orang dibunuh. 

    Media Australia The Sydney Morning Herald menyimpulkan, jika jumlah orang yang dibunuh bertahan dengan angka rata-rata seperti itu, diperkirakan perang terhadap narkoba di Dilipina dapat memakan korban 60.000 orang dalam enam tahun. 

    “Hitler telah membantai tiga juta orang Yahudi. Sekarang, ada tiga juta pecandu narkoba. Saya sangat senang untuk membantai mereka.” Demikian Rodrigo Duterte pernah berkata.

    Akan tetapi, pada Oktober 2017, sang presiden memerintahkan polisi mengakhiri operasi itu setelah berjalan 15 bulan. 

    Rodrigo Duterte menyatakan, ia ingin memindahkan fokus kebijakan antinarkobanya dari operasi di jalanan kepada jaringan-jaringan dan pemasok-pemasok besar. 

    Selain Filipina, Indonesia juga mempunyai pendekatan yang tegas terhadap narkoba. 

    “Jadi tegas terutama kepada para pengedar narkoba asing yang memasuki negara dan melawan saat ditangkap. Tembak mereka karena kita sedang berada di dalam posisi darurat narkoba sekarang.” ujar Presdien Joko Widodo. 

    Selain itu, Jokowi juga memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak pengedar narkoba.

    Setelah dua penyeludup narkoba dari Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran di eksekusi di Indonesia, analisis dari University of Melbourne mengindikasikan bahwa polisi Indonesia diperkirakan telah membunuh 49 orang tersangka pengedar narkoba dalam enam bulan pada 2017 lalu. 

    Angka itu meningkat dari 14 orang pada 2016 dan 10 orang tahun 2015. Lebih dari sepertiga eksekusi yang dilakukan dalam enam bulan pertama tahun 2017 dilaksanakan setelah para tersangka menyerah kepada polisi. 

    “Hidup seorang pengedar narkoba tidaklah berharga. Hal itu menunjukkan bahwa Rodrigo Duterte mengurus rakyatnya,” ujar Budi Waseso, Ketua Badan Narkotika Nasional yang mengapresiasi metode Rodrigo Duterte. 

    Meredupkan Segitiga Emas
    Thailand, Laos, dan Myanmar sebagai negara yang daerahnya disebut sebagai Segitiga Emas narkoba pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan memberantas narkoba dari negaranya. 

    Contohnya, Myanmar ingin memberantas produksi opium di negaranya walaupun tidak berhasil memenuhi target yaitu 2015. Batas waktu itu pun diperpanjang menjadi tahun 2019. 

    Thailand pun mengeluarkan kebijakan perang terhadap narkoba. Para personel polisi dan militer diberikan target jumlah dalam urusan penangkapan pengguna dan pengedar. 

    Jika mereka melebihi target, mereka akan diberikan penghargaan. Hal itu terungkap dalam tulisan James Windle yang berudul Drugs and Drug Policy in Thailand.

    Para pemimpin komunitas di Thailand pun diminta menyusun daftar pengguna dan pengedar narkoba untuk diberikan kepada polisi. Lembaga-lembaga desa juga akan diberikan penghargaan jika mereka mencapai status bebas narkoba.

    Pada 2014 lalu, otoritas militer Thailand memerintahkan penegak hukum untuk meningkatkan usaha dalam memburu pengedar dan pabrik-pabrik pembuatan narkoba, serta memotivasi para pengguna untuk melakukan rehabilitasi sembari meningkatkan layanan perawatan. 

    Sementara di Laos, Asia Times melaporkan, Perdana Menteri Thongloun Sisoulith memulai kampanye antinarkoba pada September 2016,. 

    Bekerja sama dengan Thailand, bos besar narkoba di kawasan ASEAN, Xaysana Keopimpha ditangkap di Thailand. Selain itu, kepolisian Laos juga mengumumkan bahwa mereka telah menangkap setidaknya 24 anggota dari kartel Haysana sebagai bagian dari kampanye anti narkoba.

    (Tanya Lee Nathalia)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar :

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Perang Narkoba di Asia Tenggara Rating: 5 Reviewed By: GentaraNews
    Scroll to Top