Tahun 2016 diakhiri dengan ledakan kekerasan terhadap pengguna dan
pengedar napza di satu negara; ratusan terpidana napza dihukum gantung
di negara lain; upaya-upaya menekan penyebaran HIV/AIDS terhambat karena
kurangnya pendanaan; serta kegigihan pendukung pelarangan napza di
forum-forum PBB. Tetapi ada juga kabar baik muncul dari berbagai belahan
dunia, termasuk berbagai terobosan seperti legalisasi ganja di Kanada,
AS dan Eropa, dan perlawanan terhadap pelarangan perdagangan koka
seperti termuat dalam konvensi-konvensi napza PBB.
Berikut 10 kebijakan napza paling berpengaruh di tahun 2016; kebijakan yang baik, buruk serta sangat buruk.
1. Sesi Khusus Sidang Umum PBB tentang Napza (UNGASS on Drugs ) Berlangsung
Konsensus global pelarangan napza mendapatkan perlawanan keras dalam
forum UNGASS on Drugs, ketika masyarakat sipil menekan birokrasi PBB dan
negara-negara pihak untuk melakukan reformasi besar-besaran. Tetapi
perubahan berlangsung sangat lambat di tingkatan diplomasi global, visi
UNGASS sebagai wadah diskusi isu-isu fundamental dan merancang wacana
baru untuk melawan pendukung fanatik perang napza seperti Rusia dan
China, serta keengganan negara-negara Eropa untuk terlibat karena lebih
mendukung pusat perumusan kebijakan tetap berada pada Komisi Narkotika (Commission on Narcotic Drugs) di Wina.
Sementara delegasi AS mengadvokasi posisi-posisi yang baik, hal
tersebut berlawanan dengan trio konvensi napza PBB yang menjadi tulang
punggung kebijakan pelarangan napza internasional. Masih ada
kemenangan-kemenangan lainnya. Lembaga-lembaga PBB memublikasikan
kertas posisi mereka masing-masing, beberapa di antaranya sangat
progresif, sama seperti posisi negara-negara dan organisasi-organisasi
internasional tertentu. Negara-negara Uni Eropa dan negara lainnya
berjuang menyusun kalimat-kalimat menentang hukuman mati atas tindak
pidana napza, walau upaya mereka belum berhasil. Dan ketika dokumen
keluaran UNGASS menghindari membahas mayoritas isu-isu besar, setidaknya
dokumen tersebut menekankan pentingnya perawatan ketergantungan napza
dan usulan-usulan alternatif terhadap pemenjaraan. Dokumen keluaran
UNGASS juga menyebutkan pentingnya sanksi berbasis hak asasi manusia dan
proporsional; mendukung penyediaan nalokson (antidot untuk overdosis),
pengobatan ketergantungan napza yang diawasi (metadon dan buprenorfin)
dan peralatan menyuntik steril (walau masih menghindari istilah ‘harm
reduction’); serta seruan untuk mengatasi hambatan ketersediaan opiat.
2. Pengurangan Dampak Buruk AIDS di Skala Global Masih Sangat Kekurangan Pendanaan
Walau telah berkali-kali terbukti memiliki dampak positif dalam
mengurangi penyebaran dan prevalensi HIV/AIDS, bagi pihak donor,
pendekatan model pengurangan dampak buruk atau ‘harm reduction’
masih tidak menarik untuk didanai. UNAIDS memperkirakan bahwa 2,3
milyar dolar diperlukan untuk membiayai program-program pengurangan
dampak buruk terkait AIDS tahun lalu, tetapi hanya 160 juta dolar yang
diinvestasikan oleh donor, karena sebagian besar negara pihak memotong
jumlah dana bantuan mereka. Angka tersebut hanyalah 7% dari jumlah
pendanaan yang dibutuhkan. Hal ini terjadi setelah pada 2015, terdapat
penurunan dalam pendanaan program-program AIDS di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Secara total, negara-negara dunia
menyisihkan 100 milyar dolar per tahun untuk memerangi napza, tetapi
tidak dapat menyisihkan 2,3% dari jumlah tersebut untuk membiayai
program pengurangan dampak buruk AIDS terkait napza.
3. Negara Bagian Terpadat di AS Melegalkan Ganja, Juga Negara-Negara Bagian Lainnya
Konsensus pelarangan napza global runtuh ketika pembusukan terjadi
dari dalam, dan itulah yang terjadi ketika pada November 2016.
California, Nevada, Maine, dan Massachussetts memenangkan pilihan
melegalkan ganja melalui pemungutan suara warga; bergabung dengan
Alaska, Colorado, Oregon, dan Washington, yang telah mendahului pada
2012 dan 2014. Kini, sekitar 50 juta warga AS hidup di bawah naungan
negara bagian yang melegalkan ganja, dan ini berarti meningkatnya
tekanan pada pemerintah federal di Washington untuk mengakhiri
pelarangan ganja di tingkat federal.
4. Konsensus Pelarangan Ganja di Eropa di Ambang Kehancuran
Tak satu negara pun di Eropa melegalkan ganja, tetapi tanda-tanda
menunjukkan akan ada negara yang melegalkan ganja dalam waktu dekat.
Pada 2016 telah nampak kandidat yang paling menonjol adalah Italia,
negara tempat RUU legalisasi ganja mendapat kesempatan dengar pendapat
dengan parlemen; Jerman, negara di mana ‘legalisasi terasa sudah sangat
dekat’ seiring langkah Berlin mengizinkan beroperasinya kedai – kedai
ganja dan Dusseldorf mengupayakan legalisasi ganja total; dan di
Denmark, Copenhagen kembali mencoba untuk meloloskan undang-undang
legalisasi ganja. Di Denmark dan Jerman, legalisasi tidak didorong oleh
pemerintah pusat, sementara di Italia, kemungkinan legalisasi masih
terombang-ambing setelah gerakan populis Eropa menjatuhkan perdana
menteri saat itu. Tetapi kecenderungan ke arah legalisasi masih
berlangsung.
5. Belanda Akhirnya Melakukan Perubahan untuk Mengatasi “Masalah Pintu Belakang”
Belanda mengizinkan penjualan ganja di “kedai ganja” sejak tahun
1980-an, tetapi tidak pernah meregulasi suplai ganja legal bagi
pemasok. Kini, setelah 20 tahun menghalangi upaya dekriminalisasi
produksi ganja, Partai VVD yang menaungi Perdana Menteri Mark Rutte
mengubah kebijakan. Pada sebuah konferensi partai November 2016 lalu,
VVD mengadakan pemungutan suara untuk mendukung “regulasi cerdas” ganja
dan “untuk merancang ulang seluruh wilayah yang melingkupi napza
ringan.” Teks lengkap resolusi tersebut didukung oleh 81% anggota
partai, tertulis, : “Ketika penjualan ganja diizinkan secara
terbuka, perolehan stok masih ilegal hingga kini. Partai VVD ingin
mengakhiri situasi janggal tersebut dan meregulasi napza ringan dengan
lebih cerdas. Telah tiba waktunya untuk merancang ulang seluruh wilayah
yang melingkupi napza ringan. Penyusunan ulang ini tidak saja berlaku
di tingkat nasional. Kota-kota juga harus menghentikan eksperimaen
kultivasi ganja sesegera mungkin.” Partai-partai politik oposisi juga mendukung pemecahan “masalah pintu belakang” yang telah lama berlaku ini.
6. Langkah Kanada Menuju Legalisasi Ganja Berlangsung Cepat
Justin Trudeau dan Partai Liberal mengalahkan kekuasaan Tories pada
Oktober 2015 dengan sebuah rancangan kerja yang termasuk di dalamnya
adalah seruan legalisasi ganja. Gerakan menuju tujuan tersebut cukup
lambat tetapi pasti, dengan terbentuknya satuan kerja federal yang
merekomendasikan legalisasi skala luas dalam rilisnya Desember 2016
lalu. Partai Liberal menyatakan, mereka berharap dapat menyelesaikan RUU
legalisasi ganja di parlemen musim semi ini, dan Kanada terus melaju
untuk membebaskan ganja dari pelarangan.
7. Bolivia Mengabaikan Konvensi PBB, Setuju Mengekspor Koka ke Ekuador
Presiden Bolivia Evo Morales sendiri, sebagai mantan ketua asosiasi
petani koka, mengawali tahun 2016 dengan kampanye dekriminalisasi
perdagangan koka dan menutup tahun tanpa menunggu reaksi PBB dengan
menandatangani perjanjian dengan Ekuador untuk mengekspor koka ke negara
tersebut. Perjanjian ini merupakan pelanggaran terhadap Konvensi
Tunggal PBB tentang Narkotika, yang melarang ekspor daun koka karena
tanaman tersebut mengandung alkaloid kokain, tetapi baik Bolivia maupun
Ekuador nampaknya tidak mengindahkan fakta tersebut.
8. Meksiko Menandai Satu Dekade Perang Napza yang Brutal
Pada Desember 2006, Presiden Felipe Calderon mengirim tentara Meksiko
ke negara bagian Michoacanin yang disebutnya sebagai upaya serius
memerangi perdagangan napza. Upaya ini gagal, dan membawa kekerasan
terburuk dalam sejarah Meksiko, dengan perkiraan lebih dari 100.000
orang terbunuh dan puluhan ribu orang lainnya hilang. Perang terhadap
kartel napza memuncak pada 2012, yang merupakan tahun pemilihan
presiden baik di AS maupun Meksiko,dan tingkat pembunuhan menurun sejak
saat itu, tetapi kini kembali meningkat pada tingkatan tertinggi.
Pengganti Calderon, Enrique Pena Nieto, telah menyerukan penghentian
perang napza.
9. Iran Mempertimbangkan Ulang Keberlanjutan Hukuman Mati atas Kasus Napza
Republik Islam Iran bisa jadi adalah negara yang paling banyak
menerapkan hukuman mati atas kasus napza, dengan angka berkisar antara
1000 eksekusi pada 2015 (angka 2016 belum dikeluarkan). Terdapat
sinyal-sinyal bahwa rezim berkuasa di Iran akan melakukan perubahan.
Pada November 2016, parlemen Iran setuju untuk mempercepat perubahan
sehingga jumlah individu yang terancam eksekusi akan berkurang secara
dramatis. Kini rancangan undang-undang tersebut menjadi prioritas di
Komite Urusan Hukum dan Sosial Iran, sebelum melaju ke parlemen. Bila
disahkan maka aturan tersebut akan membatasi hukuman mati hanya
diberlakukan pada “gembong napza terorganisir,” “penyelundup napza bersenjata”, serta “pelaku kejahatan berulang (residivis)” dan “distributor napza kelas kakap.”
10. Filipina Mengobarkan Pembantaian terhadap Pengguna dan Pengedar Napza
Dengan terpilihnya Rodrigo Duterte, Filipina terpuruk ke dalam banjir darah, ketika polisi dan kelompok-kelompok non-pemerintah berkompetisi membunuh lebih banyak pengguna napza. Presiden Duterte telah menafikan kritik dari AS, PBB, dan badan organisasi-organisasi pemantau HAM, dan bahkan menyerang balik. Sampai dengan akhir 2016, angka kematian diperkirakan berjumlah di kisaran 6.000 orang, dengan kelompok-kelompok non pemerintah mengklaim telah membunuh lebih banyak orang dibandingkan pihak kepolisian.
0 komentar :
Posting Komentar